Selasa, 08 Juli 2014

kota mbojo/ kota bima











SENI & BUDAYA
Rabu, 09 Juli 2014
Bima memang unik dengan beragam tarian tradisional baik yang lahir dari Istana maupun di luar Istana. Pada masa lalu, terutama pada zaman ke-emasan. Kesultanan Bima, Seni tari  dan atraksi seni budaya tradisioanl merupakan salah satu cabang seni yang sangat populer. Pengembangan seni tari mendapat perhatian dari pemerintah kesultanan. Kala itu, Istana Bima (Asi Mbojo) tidak hanya berfungsi sebagai pusat Pemerintahan namun Asi juga merupakan pusat pengembangan seni dan budaya tradisional. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin (Sultan Bima yang kedua) yang memerintahkan antara tahun 1640-1682 M, seni budaya tradisional berkembang cukup pesat. Hingga saat ini seiring berjalannya waktu, beberapa seni tari dan atraksi seni budaya tradisional itu masih tetap eksis. Beberapa tarian yang masih dapat di nikmati antar lain;
a.      Atraksi Gantao
Jenis tarian ini berasal dari Sulawesi Selatan dengan nama asli Kuntao. Namun di Bima diberi nama Gantao. Atraksi seni yang mirip pencak silat ini berkembang pesat sejak abad ke-16 Masehi. Karena pada saat itu hubungan antara kesultanan Bima dengan Gowa dan Makasar sangat erat. Atraksi ini dapat dikategorikan dalam seni Bela diri (silat), dan dalam setiap gerakan selalu mengikuti aturan musik tradisional Bima (Gendang, Gong, Tawa-tawa dan Sarone). Pada zaman dahulu setiap acara-acara di dalam lingkungan Istana Gantao selalu digelar dan menjadi ajang bertemunya para pendekar dari seluruh pelosok, hingga saat ini Gantao masih tetap lestari detengah-tengah masyarakat Bima dan selalu digelar pada acara sunatan maupun perkawinan).

b.      Tari Wura Bongi Monca
Seni budaya tradisional Bima berkembang cukup pesat pada masa pemerintahan sultan Abdul Kahir Sirajuddin, sultan Bima ke-2 yang memerintah antara tahun 1640-1682 M. Salah satunya adalah Tarian Selamat Datang atau dalam bahasa Bima dikenal dengan Tarian Wura Bongi Monca. Gongi Monca adalah beras kuning. Jadi tarian ini adalah Tarian menabur Beras Kuning kepada rombongan tamu yang datang berkunjung.
     Tarian ini biasanya digelar pada acara-acara penyabutan tamu baik secara formal maupun informal. Pada masa kesultanan tarian ini biasa digelar untuk menyambut tamu-tamu sultan. Tarian ini dimainkan oleh 4 sampai 6 remaja putri dalam alunan gerakan yang lemah lembut disertai senyuman sambil menabur beras kuning kearah tamu, Karena dalam falsafah masyarakat Bima tamu adalah raja dan dapat membawa rezeki bagi rakyat dan negeri.

c.       Tari Lenggo
Tari Lenggo ada dua jenis yaitu Tari Lenggo Melayu dan Lenggo Mbojo. Lenggo Melayu diciptakan oleh salah seorang mubalig dari Pagaruyung Sumatera Barat yang bernama Datuk Raja Lelo pada tahun 1070 H. Tarian ini memang khusus diciptakan untuk upacara Adat Hanta UA Pua dan dipertunjukkan pertama kali di Oi Ule (Pantai Ule sekarang) dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Lenggo Melayu juga dalam bahasa Bima disebut Lenggo Mone karena dibawakan oleh 4 orang remaja pria.
     Terinspirasi dari gerakan Lenggo Melayu, setahun kemudian tepatnya pada tahun 1071 H, Sultan Abdul Khair Sirajuddin menciptakan Lenggo Mbojo yang diperankan oleh 4 orang penari perempuan. Lenggo Mbojo juga disebut Lenggo Siwe. Nah, jadilah perpaduan Lenggo Melayu dan Lenggo Mbojo yang pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan Lenggo UA PUA. Tarian Lenggo selalu dipertunjukkan pada saat Upacara Adat Hanta UA PUA terutama pada saat rombongan penghulu Melayu mamasuki pelataran Istana.

d.      Rawa Mbojo
Salah satu seni budaya Mbojo yang merupakan ajang hiburan masyarakat tempo dulu adalah Rawa Mbojo. Seni ini adalah salah satu media penyampaian pesan dan nasehat yang disuguhkan terutama pada malam hari saat-saat penen sambil memasukkan padi di lumbung. Senandung Rawa Mbojo yang di-iringi gesekan Biola berpadu dengan syair dan pantun yang penuh petuah adalah pelepasan lelah dan pembeli semangat kepada warga yang melakukan aktifitas di tiap-tiap rumah. Sebagai selingan, dihadirkan pula seorang pawang cerita yang membawakan dongeng-dongeng yang menarik dan penuh makna kehidupan.
Syair dan senandung Rawa Mbojo didominasi pantun khas Bima yang berisi nasehat dan petuah, kadang pula jenaka dan menggelitik. Ini adalah sebuah warisan budaya tutur yang tak ternilai unuk generasi. Dalam Rawa Mbojo terdapat beragam lirik yang dikenal dengan istilah Ntoro. Ada Ntoko Tambora, Ntoko Lopi Penge, dan Ntoko lainnya. Tiap Ntoko memiliki khas masing-masing. Misalnya Ntoko Tambora dilantunkan dalam syair dan irama yang mengambarkan kemegahan alam. Ntoko Lopi Penge mengambarkan suasana laut dan gelombang. Syair dan pantun yang dilantunkan pun dikemukakan secara spontan sesuai keadaan. Itulah kelebihan dari para pelantun Rawa Mbojo. Meskipun tidak bisa membaca dan menulis, namn mereka sangan pawai melantunkannya secara spontanitas.

e.      Hadrah Rebana
Jenis atraksi kesenian ini telah berkembang pesat sejak abad ke-16. Hadrah Rebana merupakan jenis atraksi yang telah mendapat pengaruh ajaran islam. Syair lagu yang dinyanikan adalah lagu-lagu dalam bahasa Arab dan biasanya mengandung pesan-pesan rohani. Dengan berbekal 3 buah Rebana dan 6 sampai 12 penari, mereka mendendangkan lagu-lagu seperti Marhaban dan lain-lain. Hadrah Rebana biasa digelar pada acara WA’A CO’I (Antar Mahar), Sunatan maupun Khataman Alqur’an. Hingga saat ini Hadrah Rebana telah berkembang pesat sampai ke seluruh pelosok. Hal yang menggembirakan adalah Hadrah Rebana ini terus berkembang dan dikreasi oleh seniman di Bima. Dan banyak sekali karya-karya gerakan dan lagu-lagu yang mengiringi permainan Hadrah Rebana ini.
Semua atraksi kesenian dan tari-tarian ini oleh Pemerintah Kota Bima selalu di gelar pada setiap perayaan hari-hari besar daerah, propinsi dan nasional bahkan untuk menyambut para tamu-tamu pemerintahan, wisatawan dan kegiatan-kegiatan ceremonial lainnya yang terpusat di Paruga Nae (tempat khusus pagelaran seni budaya dengan arsitektur khas tradisional rumah adat Bima).

Kuliner Khas Bima
 

Letak Bima yang secara geografis berada di pesisir pantai mempengaruhi selera makan orang Bima. Kebanyakan makanan Bima terdiri dari ikan dan hasil laut lainnya. Orang Bima bilang kalau belum makan pakai ikan rasanya belum makan. Orang Bima tidak mengenal kata lauk pauk, kalau daerah lain “makan pakai apa?” maksudnya lauknya apa? orang Bima akan bertanya langsung “Ngaha kai uta au?” yang artinya “makan pakai ikan apa?” jawabanya  bisa saja “ngaha kai uta janga” yang arti secara harafiahnya “makan pakai ikan ayam” atau “ngaha kai uta mbe’e” yang artinya “makan pakai ikan kambing” kata ikan biasanya menempel pada nama lauk pauk lainnya.
Walaupun orang Bima menggemari ikan laut, bukan berarti di Bima tidak mengenal makanan selain ikan. Daging Kambing adalah makanan favorit setelah ikan disusul Daging Rusa atau Menjangan, Daging Sapi, Kerbau dan Kelompok Unggas serta terakhir Daging Kuda.
Kelompok Sayuran. Daun dan Buah Kelor adalah sayuran yang paling populer di Bima, bisa dibilang selama pohon kelor melambai orang Bima tidak akan kelaparan. Pohon kelor juga adalah pohon yang bersahabat, semakin dipetik daunnya semakit lebat tumbuhnya. Selain daun dan buah kelor sayuran khas Bima ada juga “sandanawa” yang sampai saat ini saya belum tahu nama Indonesianya. Dalam Bahasa Bima sayur disebut “tambeca”, mungkin singkatan dari “uta mbeca” yang ar
tinya “ikan basah”. Dalam Kuliner Bima memang tidak banyak dikenal sayuran yang ditumis, sayur itu selalu identik dengan makanan yang berkuah.
Kelompok Pelengkap atau Sambal. Ini paling penting, disebut demikian karena banyak sekali ragam jenis sambal, baik sambal mentah maupun matang. Enak atau tidaknya suatu santapan tergantung makanan pelengkap ini. Tidak semua sambal cocok untuk segala jenis makanan, semua ada peruntukannya masing-masing.
Kelompok Penganan/Makanan Kecil. Jenis penganan Bima banyak dipengaruhi oleh citarasa melayu, manis bersantan dan Melayu banyak dipengaruhi Timur Tengah, tidak heran ada beberapa penganan Bima yang punya citarasa Timur Tengah.
Adapun contoh lain dari makan khas bima seperti :
Tumi Sepi (Tumis Udang Rebon),
Mangge Mada (Gulai Jantung Pisang)Uta Mbeca Ro'o Parongge (Sayur Daun Kelor).



Ciri khas 

Keunikan Bahasa Bima
Bahasa Bima memiliki keunikan-keunikan yang fantastis, identitasnya sejalan dengan keunikan bahasa di dunia, ada beberapa hal yang penulis deskripsikan tentang bahasa Bima yaitu,  mengapa bahasa Bima itu unik?, bagaimana alur berpikir dikatakan bahasa Bima itu unik?. Dari pertanyaan sederhana ini, penulis akan mendeskripsikan keunikan-keunikan bahasa bima yang penulis akronimkan sebagai BB.
Di bawah ini penulis mendeskripsikan tentang keunikan-keunikan bahasa Bima yang penulis akronimkan dengan istilah (BB) yaitu sebagai berikut.
1.      Setiap konsonan akhir pada sebuah kata pasti dihilangkan
Umumnya bahasa Bima (tidak berakhir dengan konsonan pada kata) kecuali pada para penutur yang berpendidikan akibat pengaruh bahasa lain. Penghilangan konsonan akhir ini terjadi pada nama seseorang yang memiliki konsonan pada akhir kata dan juga terdapat pada kata-kata serapan dari bahasa kedua atau bahasa lain.
Dalam bahasa Bima untuk setiap nama yang diakhiri oleh konsonan, akan terjadi penghilangan fonem. Akan tetapi, apabila sebuah nama diakhiri oleh vokal maka, tidak ada penghilangan fonem akhir, misalnya nama Fahruroji akan tetap dilafalkan Fahruroji, Amri akan tetap dilafalkan Amri, dan seterusnya.
Perhatikan contoh di bawah ini.  
a         Firdaus akan menjadi Firdau, konsonan (s) dihilangkan
b        Ahmad akan menjadi Ahma, konsonan (d) dihilangkan
c         Bakar akan menjadi baka, konsonan (r) dihilangkan
d        Hasan akan menjadi hasa, konsonan (n) dihilangkan
e         Ismail akan menjadi Ismai, konsonan (l) dihilangkan
f         Mesin akan menjadi mesi, konsonan (n) dihilangkan
g        Astronot akan menjadi astrono, konsonan (t) dihilangkan

Proses morfofonemik berupa penghilangan fonem atau segmen dalam bahasa Bima terjadi karena kosakata daerah yang selalu diujar dengan huruf mati. Kemudian hal lain dari penghilangan fonem akhir pada setiap kata yang diakhiri oleh konsonan. Kasus ini disebut reduksi artinya peristiwa pengurangan fonem dalam suatu kata. Gejala reduksi dibedakan menjadi tiga yaitu aferesis, sinkop, dan apokop (Muslich, 2010: 106). Akan tetapi, yang berkaitan dengan bahasa Bima yaitu penghilangan fonem pada akhir kata, yang disebut apokop. 

2.      Setiap nama panggilan, kepada yang lebih tua (di lia kai atau panggilan penghormatan kepada yang lebih tua) akan terjadi perubahan fonem.
Perhatikan contoh di bawah ini
a      Ismail dipanggil Mo’i,
b      Bakar dipanggil Beko,
c      Hasan dipanggil Heso,
d     Dan seterusnya.

Pembahasan.
a.       Nama Ismail dipanggil Mo‘i, nama (Ismail) memiliki 6 fonem (/i/,/s/,/m/,/a/,/i/,/l/) untuk di lia kai  (panggilan kehormatan kepada yang lebih tua) maka akan dipanggil mo’i. Hal ini terjadi karena dalam fonem /m/, /a/, /i/, melalui proses perubahan fonem, maka fonem /a/ menjadi fonem /o/, sehingga Ma’i dipanggil Mo’i.
b.      Nama Bakar dipanggil Beko, nama (Bakar) memiliki 5 fonem (/b/, /a/, /k/, /a/, /r/), untukdi lia kai (panggilan kehormatan kepada yang lebih tua) maka akan dipanggil Beko. Hal ini terjadi karena dalam fonem (/b/,/a/, /k/, /a/), melalui proses perubahan fonem, maka fonem /a/ menjadi /e/ dan fonem /a/ menjadi /o/, sehingga Baka dipanggil Beko.
c.       Nama Hasan dipanggil Heso, nama (Hasan) memiliki 5 fonem (/h/, /a/, /s/, /a/, /n/), untukdi lia kai (panggilan kehormatan kepada yang lebih tua) maka akan dipanggil heso. Hal ini terjadi karena dalam fonem (/h/, /a/, /s/, /a/), melalui proses perubahan fonem, maka fonem /a/ menjadi /e/ dan fonem /a/ menjadi /o/, sehingga Hasa dipanggil Heso.
Berdasarkan beberapa contoh perubahan fonem di atas, menurut hemat penulis disebabkan oleh 3 (tiga) faktor sebagai berikut.
1.      Adanya perubahan fonem yang disebut sebagai modifikasi vokal yang fonemis artinya modifikasi yang menyebabkan fonem vokal tertentu berubah menjadi fonem vokal yang lain (Verhaar, 2010: 81). Berdasarkan pendapat tersebut menurut hemat penulis, dapat disimpulkan sebagai berikut; Ismail (Ma’i) dilafalkan Mo’i, di mana bunyi /a/ dilafalkan menjadi bunyi /o/ sehingga menyebabkan vokal /a/ menjadi bunyi vokal /o/. kata Bakar(Baka) dilafalkan Beko dan Hasan (Hasa) dilafalkan Heso, di mana bunyi vokal /a/ dilafalkan menjadi bunyi /e/ sehingga menyebabkan bunyi vokal /a/ menjadi bunyi vokal /e/ dan bunyi vokal /a/ dilafalkan menjadi bunyi /o/ sehingga menyebabkan bunyi vokal /a/ menjadi bunyi vokal /o/.
2.      Adanya perubahan bentuk kata yang disebut sebagai analogi yaitu suatu bentukan bahasa dengan meniru contoh sudah ada. Dalam suatu bahasa yang sedang tumbuh dan berkembang, pembentukan kata-kata baru sangat penting sebab bentukan kata baru akan memperkaya perbendaharaan bahasa (Muslich, 2010: 101). Misalnya dalam bahasa Indonesia kita mengenal kata putra dan putri. Kedua bentuk kata ini terdapat perbedaan fonem yaitu fonem /a/ dan /i/. Fonem /a/ dan /i/ mempunyai fungsi menyatakan perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Kemudian, dalam bahasa Bima tidak membedakan jenis kelamin, akan tetapi hanya sebagai panggilan kehormatan kepada yang lebih tua yang tidak membedakan fungsi. Namun, membentuk kata baru yang menyebabkan terjadinya perubahan fonem seperti contoh yang diuraikan di atas. 
3.      Perubahan bentuk kata, dari nama (1) Ismail menjadi Mo’i, (2) Abakar menjadi Beko, dan (3) Hasan menjadi Heso, dalam hal ini perubahan fonemnya (1) /a/ menjadi /o/, (2) /a/ menjadi /e/ dan /a/ menjadi /o/, dan (3) /a/ menjadi /e/ dan /a/ menjadi /o/, dapat membedakan fungsi yaitu dapat menjaga etika berbahasa dan bertutur kepada yang lebih tua.
3.      Terdapat dua buah konsonan laminobilabial dan laminobilabial implosif yang berbeda dengan /b dan d/. Keduanya dilambangkan dengan /b dan d/.
Konsonan laminobilabial merupakan konsonan yang terjadi atas penggabungan darilamino dan bilabial yang pada proses artikulasinya, lamino yaitu konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi, dalam hal ini daun lidah menempel pada gusi seperti bunyi /t/ dan/d/, sedangkan bilabial yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir bawah, bibir bawah merapat pada bibir atas, yang termasuk bunyi bilabial ini adalah bunyi /b/, /p/, dan /m/. Sedangkan laminobilabial implosif merupakan penggabungan dari dua konsonan; lamino yaitu konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi, dalam hal ini daun lidah menempel pada gusi seperti bunyi /t/ dan/d/, sedangkan bilabial yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir bawah, bibir bawah merapat pada bibir atas, yang termasuk bunyi bilabial ini adalah bunyi /b/, /p/, dan /m/. Jadi, konsonan laminobilabial implosif artinya bunyi hambat yang terjadi dengan aliran udara yang diisap, seperti bunyi /b/ dan /d/.
Sebagai pembanding, perhatikan huruf dalam bahasa Arab, misalnya dalam huruf-huruf suara (vokal) pengganti fathah, kasrah, dan dammah, dipergunakan a, i, u seperti biasa. Kecuali bunyi panjang atau maddah masing-masing diberi tanda sempang di atasnya yaitu a, i, dan u. Akan tetapi, dalam bahasa Bima pemberian tanda sempang di atas konsonan /b/ dan /d/ tidak bermakna sebagai bunyi panjang seperti dalam bahasa Arab, tetapi memiliki makna sebagai bunyi hambat yang terjadi dengan aliran udara yang diisap.
Perhatikan contoh di bawah ini.
a.       Kata /baba/ ‘orang Cina peria; /baba/ ‘kakak atau abang’, sedangkan /baba/ ‘mengikat seluruh tubuh’.
b.      Kata /didi/ ‘memesan’; sedangkan /didi/ ‘menekan, membenam, dan lusa (kemarin)’.

Dari beberapa contoh di atas, kalau dilihat dari kajian semantik yang berkaitan dengan jenis makna, maka penulis berkesimpulan bahwa kata (baba) dengan (baba) dan kata (didi) dengan kata (didi) merupakan homografi yang mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama. Dasar pemikiran penulis menyimpulkan di atas karena menurut analisis penulis tentang bahasa Bima pada fonem /b/ terdiri dari dua alofon [b] dan [b] sedangkan fonem /d/ memiliki dua alofon [d] dan [d].
4.      Terdapat kluster (konsonan rangkap) pada awal kata.  
Kluster adalah dua konsonan yang dibaca satu bunyi. Oleh karena itu, dalam bahasa Bima kluster ini biasanya selalu muncul pada awal kata yang berbeda dengan bahasa lain yang kadang muncul di awal kata, di tengah kata, maupun di akhir kata.
Perhatikan contoh di bawah ini.
a.       mb seperti pada mbai, artinya ‘busuk’
b.      nc seperti pada ncai artinya ‘jalan’
c.       nd seperti pada ndore artinya ‘berbaring’
d.      ngg seperti pada nggala artinya ‘bajak’
e.       nt seperti pada ntau artinya ‘kepunyaan’
f.       ng seperti pada kata ngolu artinya ‘menang’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar